Site icon FABC50 | LiCAS.news

Jangan biarkan kebencian terus menguasai Myanmar

Saudara dan saudari, salam dalam nama Yesus yang penuh kuasa. Kita sedang menjalani Masa Prapaskah. Namun pesan Natal terasa masih relevan bagi kita: Damai bagi semua pria dan wanita yang berkehendak baik di negeri ini.

Saat ini kita membutuhkan kedamaian, lebih dari sebelumnya. Tanah emas ini adalah tanah yang diberkati, tetapi berkat terbesar adalah berkat kedamaian. Kita mempersembahkan masa Prapaskah ini untuk memohon perdamaian.

Kita sudah menyaksikan bahwa jalanan Myanmar telah penuh dengan begitu banyak rasa sakit, penderitaan, dan perlawanan. Bahkan hari ini jalanan akan kembali penuh. Ini terlihat seperti Jalan Salib yang tak berujung. Akankah Salib berakhir dengan kebangkitan?



Perlahan-lahan orang-orang  yang melakukan kekerasan mengganggu aksi damai itu. Kita berdoa agar tidak terjadi kekerasan. Darah yang tidak bersalah tidak boleh tumpah di tanah ini. Kita semua adalah putra dan putri dari tanah yang sama, ibu yang sama, yaitu Myanmar, dan kita perlu melatih kesabaran dan toleransi.

Kita mempersembahkan Misa ini untuk perdamaian di negara ini. Saya telah berulang kali mengatakannya: Kebencian tidak pernah mengakhiri kebencian, hanya cinta yang bisa. Kegelapan tidak pernah bisa menghilangkan kegelapan, hanya cahaya yang bisa menghilangkan kegelapan. Mata ganti mata membuat seluruh dunia buta. Marilah kita semua percaya pada kekuatan cinta dan rekonsiliasi.

Hari ini kita merayakan minggu kedua Prapaskah. Prapaskah adalah waktu untuk pemurnian diri, untuk menjauh dari dosa yang merupakan menghancurkan kita. Mereka yang mencoba menghancurkan orang lain, berakhir dengan menghancurkan dunia dan perdamaian, dan akhirnya diri mereka sendiri. Itulah pesan Prapaskah.

https://twitter.com/CardinalMaungBo/status/1366061735602511872

Hanya cinta penebusan, seperti yang ditunjukkan oleh Kristus di kayu Salib, yang akan menghasilkan kebangkitan. Jangan sampai kebencian menguasai bangsa ini. Hanya Karuna dan Metta yang bisa membawa kedamaian.

Bacaan pada hari ini menunjukkan kepada kita kesaksian yang luar biasa tentang ketaatan kasih dan kesetiaan.

Abraham dipanggil untuk mengorbankan putranya. Abraham adalah seorang ayah. Terlepas dari tuntutan untuk mengorbankan putranya, Abraham percaya pada kasih Tuhan yang abadi dan kebaikan jangka panjang bagi semua. Ia tahu ketika Tuhan menuntut, Dia akan mengembalikan seratus kali lipat.

Tuhan sedang mempersiapkan Abraham untuk tanah perjanjian. Abraham cukup rendah hati untuk memahami pengorbanan yang dibutuhkan untuk menjadi bapak suatu bangsa. Kesabaran dibutuhkan saat kita mencari tanah perjanjian. Kita tidak bisa membangun sebuah bangsa di atas tumpukan abu yang dibakar dalam kebencian satu sama lain. Dibuthkan pengorbanan, bukan membunuh satu sama lain.

Memiliki sebuah bangsa tidak muncul dari hasil kekerasan. Itu adalah hasil pengorbanan, ketaatan pada keinginan kebanyakan orang. Abraham adalah teladan yang luar biasa. Dia tidak pernah meragukan Tuhan. Dia tahu hanya orang yang dididik dalam pengorbanan dan ketaatan yang dapat memimpin orang ke tanah perjanjian.

Keegoisan, hanya peduli pada diri sendiri, tidak akan pernah bisa membuat Abraham menjadi seorang pemimpin. Tidak mementingkan diri sendiri inilah, bahkan sampai pada tingkat mengorbankan cinta pada anak sendiri, yang melebarkan jalannya untuk menjadi pemimpin bangsa yang besar. Hanya mereka yang setia yang bisa menjadi pemimpin yang sukses. Yang lainnya telah menjadi catatan kaki sejarah.

Tokoh-tokoh hebat dalam Kitab Suci memberi kita makna menjadi pemimpin sejati: bahwa pemimpin sejati tidak mengikat, tapi melepaskan.

Abraham diminta untuk melepaskan tanah tempat tinggalnya, dia diminta untuk melepaskan hadiah paling berharga dalam hidupnya, putranya sendiri.

Musa diminta untuk memimpin orang-orang, dan di saat-saat terakhir dia diminta untuk melepaskan hak istimewa untuk memasuki tanah perjanjian.

Mereka adalah para pemimpin sejati.

Kepemimpinan mereka mendapat ujian berat. Musa meninggalkan istana, pindah dari zona nyaman ke zona konflik. Abraham diminta untuk mengorbankan anggota keluarganya. Pemimpin sejati tidak mengkhawatirkan keluarga. Mereka hidup dengan kata-kata Yesus: Jika engkau ingin menjadi yang pertama, hendaklah menjadi yang terakhir. Jika engkau ingin menjadi pemimpin, maka harus melayani. Pelayanan adalah kekuatan terbesar, bukan senjata.

Melepaskan adalah kebebasan yang harus dirawat oleh para pemimpin. Bukan hanya para pemimpin. Setiap kita mendapatkan kebebasan hanya jika kita melepaskannya. Melepaskan adalah inti Prapaskah, meninggalkan hasrat, kecanduan, prasangka, dan emosi yang belum terselesaikan. Itulah pesan untuk setiap keluarga.

Pelajaran dari para pemimpin itu adalah melepaskan kekuasaan, bukan melepaskan iman.

https://twitter.com/CardinalMaungBo/status/1365912347055824896

Abraham percaya dan menjadi bapak bangsa dan iman. Kisah mengharukan tentang Abraham yang bersiap untuk mengorbankan putra satu-satunya adalah kisah kebanyakan dari kita. Seringkali kita diminta untuk mengorbankan rencana dan pemikiran kita sendiri demi kebaikan orang lain yang lebih besar.

Di negara ini, COVID, dan sekarang kudeta, bisa menghancurkan kita. Tetapi inilah waktunya untuk menjadi seperti Abraham. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Tuhan adalah terang di tengah kegelapan yang menyelimuti kita. Ketika waktu Tuhan tiba, tidak ada kekuatan jahat, monster, yang bisa bertahan.
Bacaan Injil menempatkan segala sesuatu dalam perspektif. Jika Abraham gila karena setuju untuk mengorbankan Putra satu-satunya, namun akhirnya tidak mengorbankannya,  Tuhan melangkah lebih jauh. Dia memberikan Putra satu-satunya, Yesus, untuk dikorbankan di kayu Salib, untuk penebusan dan kehidupan kekal kita semua.

Seluruh renungan hari ini bukanlah tentang Abraham atau Ishak, melainkan tentang kasih sayang Tuhan kepada umat manusia. Di saat-saat terakhir, Tuhan mengutus seorang malaikat dengan anak domba untuk menyelamatkan nyawa Ishak. Tetapi ketika Kristus berseru dari Salib kepada Bapa-Nya, “Eli Eli Lama Sabachthani” (Allahku, Allahku, Mengapa Engkau meninggalkan aku? – Mat 27:46; mazmur 22: 1) Tuhan tidak menanggapi.

Itulah cinta. Itulah Tuhan. Tuhan selalu setia kepada kita. Santo Paulus dalam bacaan kedua kedua mengatakan kualitas Tuhan yang agung adalah kesetiaannya. “Kesetiaan Tuhan ditunjukkan dalam persembahan Anak-Nya bagi keselamatan kita.” Ishak diselamatkan, sedangkan Yesus tidak, karena Tuhan setia pada janjiNya kepada orang tua pertama dan melalui para nabi. Tuhan adalah setia, Dia  tidak pernah melupakan kita, Dia akan melakukan apa saja untuk cinta yang dimilikinya bagi kita. Tuhan berkata “Meskipun ibu melupakan anaknya, aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Injil hari ini menggemakan peristiwa-peristiwa saat ini: yaitu Transfigurasi Yesus.

Transfigurasi apa yang kita cari di Myanmar saat ini? Seberapa relevan bagi kita hari ini? Yang kita inginkan adalah semua kebimbangan, kegelapan, kebencian akan lenyap dan negara kita Tanah Emas yang terkenal akan diubah menjadi tanah kedamaian dan kemakmuran.

Ada dua tokoh dalam Alkitab yang hadir bersama Yesus selama Transfigurasi:

Musa, pria yang memimpin orang-orang Ibrani yang menderita keluar dari perbudakan dan membawa mereka ke Tanah Perjanjian. Kita berdoa bagi para pemimpin yang akan memimpin rakyat kita keluar dari segala macam penderitaan menuju tanah yang damai dan sejahtera. Kita sudah menanti selama beberapa dekade. Apakah perjalanan kita sudah dimulai? Apakah ada tanah perjanjian?

Elia bagi orang Yahudi adalah nabi mesianik yang merupakan pendahulu Yesus seperti halnya Yohanes Pembaptis. Ia bernubuat tentang perdamaian sebelum Mesias muncul. Elia dikenang sebagai salah satu nabi terpenting Israel yang membantu orang Israel tetap setia kepada Yahweh.

Kardinal Charles Maung Bo, Presiden Konferensi Waligereja Myanmar. (Foto oleh CBCM)

Orang Yahudi percaya bahwa kembalinya Elia akan menandakan kedatangan Mesias bagi orang-orang Yahudi. Keyakinan ini dibuktikan dalam pertanyaan yang diajukan oleh murid-murid Yesus setelah mereka menyaksikan Transfigurasi.

Saat ini kita membutuhkan kehadiran Elia. Kita membutuhkan seorang mesias perdamaian. Kita membutuhkan Kerajaan Tuhan di bumi. Kita membutuhkan Yesus, Pangeran Damai bagi bangsa ini. Sebagai orang Kristen, tugas pertama kita adalah membawa perdamaian. Kebencian tidak memiliki tempat di dalam Kristus. Kebencian tidak memenangkan apa pun.

Satu bulan terakhir ini, kita telah memohon kepada semua orang bahwa damai adalah satu-satunya cara dan perdamaian itu bisa tercapai.

Paus Fransiskus menyerukan penyelesaian semua perbedaan melalui dialog. Mereka yang menyerukan konfrontasi tidak menginginkan kebaikan bagi bangsa ini. Marilah kita semua menjadi Elia yang mewartakan perdamaian, menyalakan pelita harapan di tengah segala bentuk kegelapan.

Prapaskah memanggil kita untuk menjadi makhluk baru, hati yang baru. Prapaskah memanggil kita untuk berubah menjadi anak-anak Tuhan. Transfigurasi adalah tantangan di era media sosial. Media sosial terutama Facebook menjadi neraka virtual, tempat kebencian berkuasa. Orang baik menjadi kasar di neraka maya itu, menghancurkan orang lain. Kemanusiaan dirusak di Facebook.

Para frater ikut dalam aksi menentang kudeta militer di Myanmar. (Foto milik Radio Veritas Asia)

Dewasa ini ketika kita merenungkan transfigurasi, kita perlu sberhati-hati atas realitas jagat maya dan kesehatan mental kita.

Transfigurasi adalah realitas virtual. Ini sangat mempengaruhi para murid yang berpartisipasi di dalamnya, bahwa mereka harus kembali untuk mewartakan Kabar Gembira.

Pada hari ini kita juga berdoa untuk transfigurasi bangsa ini. Selama tujuh puluh tahun terakhir kita mencari rahmat transfigurasi bagi bangsa ini. Seperti Yesus, para pemimpin dapat membuat pengorbanan tertinggi, seperti Musa, pemimpin kita dapat memimpin bangsa ini menuju perdamaian dan kemakmuran, seperti Elia, bangsa kita dapat memproklamasikan Kerajaan harapan baru yang diperintah oleh orang-orang hebat yang damai dan bijaksana.

Ini tetap menjadi seperti mimpi: seperti para murid kita tidak hanya akan diliputi oleh keindahan mimpi, kita perlu kembali ke kehidupan yang sulit untuk menciptakan harapan dan kedamaian. Mari kita memualainy dari maing-masing kita.

Saya ingin berdoa untuk bangsa ini. Bangsa ini diciptakan seperti Taman Eden dengan sumber daya yang begitu banyak. Tapi bangsa ini telah mengalami begitu banyak penderitaan, perang, dan begitu banyak kematian. Seperti Abraham, kita mencari tanah perjanjian. Tanah perjanjian datang ketika kita siap untuk mengorbankan apa yang kita anggap sangat kita sayangi.

Banyak dari kita mungkin rela mengorbankan bahkan putra dan putri kita, tetapi tidak keyakinan kita, bahkan ketika kita menyadari itu tidak praktis dan tidak akan berfungsi.
Tobat adalah transfigurasi diri kita masing-masing. Pertobatan adalah pesan penting Prapaskah. Mari kita menantang diri kita sendiri, untuk melihat satu sama lain dalam sudut pandang yang lebih baik. Ada dunia baru yang bisa dicapai, mencapai Myanmar yang baru,  suatu bangsa tanpa konflik menjadi mungkin ketika bangsa ini berbalik dan berubah menjadi kemuliaan yang pantas diterimanya.

Jadikan perdamaian sebagai masa depan kita, bukan konflik. Senjata tidak berguna. Mari mempersenjatai diri dengan rekonsiliasi dan dialog. Gunung Tabor di Myanmar perlu didaki dengan sabar, jika kita ingin menyaksikan transfigurasi. Kejahatan harus lenyap, tetapi itu tidak boleh dihancurkan dengan kejahatan lain.

Saya ingin mendorong Anda semua untuk berdoa memohon lima transfigurasi di bangsa ini dan dalam diri kita masing-masing.

Dari kebencian dan kekerasan, biarkan bangsa ini menjelma menjadi surga kedamaian dan ketenangan.

Dari saling tidak percaya, biarkan bangsa ini menjelma menjadi bangsa yang cinta dan solider.

Dari menjadi bangsa yang miskin meskipun memiliki sumber daya yang besar, menjadi bangsa yang sejahtera yang berbagi kekayaan dengan semua.

Dari konflik perebutan kekuasaan, gengsi dan status, menjadi bangsa bangsa demokrasi, persaudaraan dan kesetaraan.

Dari segala jenis eksploitasi, menjadi bangsa yang berkeadilan lingkungan dan berkeadilan ekologis.

Bangsa baru itu bisa tercapai, biarkan ia lahir melalui Cinta. Seperti para murid, marilah kita turun dari gunung realitas maya kita dan bertemu satu sama lain sebagai saudara dan saudari.

Biarkan perang dan konflik menjadi sejarah. Biarkan bangsa ini berubah, lahir kembali sebagai bangsa baru.

Ini adalah homili yang disampaikan oleh Kardinal Charles Maung Bo dari Yangon untuk Minggu Kedua Prapaskah.

Exit mobile version